Kamis, 03 Februari 2011

Bicara Seni


I have always had a passionate interest in art and a logical passion for philosophy, but nothing in my experience with either conflicted with the general dismal appraisal of aesthetics. Philosophical questions about art seemed peripheral and its answers cloudy - far too cloudy for those caught up in the reinvention of painting and music and literature to find much help in the dated, faded reflections of the aesthetician.

Setiap teori seni harus dimulai dengan anggapan bahwa manusia memberikan reaksi terhadap bentuk, suara, kisah, massa dan permukaan dari alam yang dirasakannya, dan bahwa komposisi dan penataan unsur-unsur tersebut menimbulkan rasa senang pada diri manusia.

Tidak ada artian seni yang secara jelas-jelas bisa dimengerti oleh setiap orang, karena mereka punya pandangan mereka sendiri terhadap seni. Bagi kebanyakan mungkin hanya menganggap seni sebagi pengibur diri mereka. Lebih dari itu, saya menganggap seni dapat dinilai lebih dari sekedar keindahannya saja tapi yang terpenting adalah seni bisa mewakili perasaan/batin saya melalui karya-karya yang saya hasilkan.

Bila seseorang memiliki perasaan yang tulus, maka ia akan menghasilkan sebuah seni yang indah dari hati mereka. Seni harus dijiwai dan dimaknai. Seni yang saya kerjakan akan menjadi bagian dari luapan emosi saya. Dan semua orang akan tau betapa saya sedang menangis, tertawa, atau kosong karenanya.

“The aim of art is to represent not the outward appearance of things, but their inward significance.” (Aristoteles)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar